Emosi Dalam Bisnis
Semakin berkembang pesat bisnis kita, semakin tinggi energi emosi yang दिबुतुह्कन.
Emosi bisnis bagi entrepreneur sangat penting peranannya. Apalagi, dalam mengatasi tantangan persaingan bisnis di Milenium ketiga ini. Karena, emosi memicu kreativitas dan inovasi kita. Emosi juga mengaktifkan nilai-nilai etika, mendorong atau mempercepat penalaran kita dalam berbisnis. Emosi juga berperan di dalam membangun kepercayaan dan keakraban. Bahkan tak hanya itu, emosi juga akan memotivasi kita, dan membuat kita nyata dan hidup.
Saya setuju dengan pendapat Josh Hammond, bahwa emosi adalah sesuatu yang punya makna penting bagi perusahaan. Menurutnya, emosi adalah pengorganisasi yang hebat dalam bidang pikiran dan perbuatan. Dan meskipun demikian, emosi tidak dapat dipisahkan dari penalaran dan rasionalitas.
Pendapat hampir serupa diungkap Robert K. Cooper yang mengatakan, bahwa pada umumnya, emosi lebih jujur daripada pikiran atau nalar. Menurutnya, emosi juga memiliki kedalaman dan kekuatan, sehingga dalam Bahasa Latin, misalnya, emosi dikatakan sebagai motus anima, yang artinya "jiwa yang menggerakkan kita".
Mengapa saya melukiskan gambaran begitu, terutama bagi seorang entrepreneur yang setiap harinya selalu menghadapi tantangan di dalam menggeluti bisnisnya? Itu karena, selama ini kita mungkin belum menyadari atau menghargai secara sebenarnya makna penting emosi itu sendiri.
Kita lebih menangkap pengertian emosi dari makna konvensional. Sehingga, emosi dianggap sebagai lambang kelemahan, bahkan tak boleh ada dalam bisnis, harus dihindari, dan membingungkan. Kita juga cenderung suka menghindari orang yang emosional, hanya pikiran yang diperhatikan dan suka menggunakan kata-kata tanpa emosi.
Tidak hanya itu, emosi juga dikatakan mengganggu penilaian yang baik, mengalihkan perhatian kita, tanda kerentanan, menghalangi atau memperlambat penalaran, menghalangi mekanisme kontrol, memperlemah sikap-sikap yang sudah baku, menghambat aliran data objektif, merumitkan perencanaan manajemen, dan mengurangi otoritas.
Padahal, emosi itu sendiri menurut Cooper adalah sumber energi. Sementara rekannya, Voltaire berpendapat emosi adalah "bahan bakar". Sehingga, berbisnis tanpa disertai dengan emosi, seolah tanpa ada gairah. Saya sendiri juga merasakan hal seperti itu.
Hal itu juga akan membuat kita tak lagi memiliki keberanian berwirausaha, apalagi bersaing. Padahal, dunia bisnis penuh persaingan. Mereka yang bisa eksis usahanya adalah mereka yang menang dalam persaingan. Maka tak ada salahnya, kita harus pandai-pandai mengerahkan sumber energi ini dalam kehidupan, termasuk di dalam bisnis kita.
Sebernarnya, telah banyak studi yang mengungkapkan, bahwa emosi penting sebagai "energi pengaktif" untuk nilai-nilai etika - misalnya kepercayaan, integritas, empati, keuletan, dan kredibilitas - serta untuk modal sosial. Hal tersebut dapat berupa kemampuan membangun dan mempertahankan hubungan-hubungan bisnis yang menguntungkan, serta didasarkan pada saling percaya.
Saya yakin, wirausahawan atau entrepreneur akan lebih minat ke sesuatu yang punya makna penting daripada makna konvensional. Karena, seorang wirausahawan adalah seseorang yang memiliki visi bisnis, dan selalu ingin mengubahnya menjadi realita bisnis.
Dia tahu, bahwa mengubah visi menjadi realita lebih berupa kerja keras dari pada nasib baik. Begitu juga halnya dengan emosi. Bukan lambang kelemahan, tapi dianggapnya sebagai lambang kekuatan dalam bisnisnya. Sehingga, meski persaingan bisnis di era millenium ketiga bakal ketat, namum dia akan tetap terus bergerak maju.
07 Oktober 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar